Seorang
anak merupakan sebuah aset berharga bagi kedua orangtuanya. Tentunya
sebagai titipan Tuhan, seorang anak diharapkan mampu menjadi manusia
terbaik yang bisa membanggakan kedua orangtuanya. Melalui anaklah sering
orangtua berharap cita-cita mereka terlaksana.
Namun,
memiliki anak yang berkualitas tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Peran serta orangtua sangat memengaruhi perkembangan anak.
Keaktifan orantualah yang paling dominan dalam membentuk karakter anak
kelak. Seperti apa yang dikatakan Mardiya dalam bukunya yang berjudul
“Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera”, institusi terkecil
seperti keluargalah yang dapat memengaruhi perkembangan individu
anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan
individu dengan pelbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh
karena itu, tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga
mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan
saja, mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat
dirunut dari keluarga.
Melalui
komunikasi yang intern, baik ketika masih dalam kandungan maupun ketika
masa-masa balita diyakini mampui merangsang motorik otak jabang bayi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ilmuwan, seorang balita mampu
mengenali dan mengingat segala bentuk suara yang dia dengar walaupun
masih di dalam kandungan. Sehingga ketika dia lahir, sudah mampu
mengenali siapa orangtuanya dan apa yang diajarkan oleh orangtuanya
dulu.
Saya
sangat takjub ketika muncul fenomena seorang doktor cilik, yaitu
seorang anak berumur tujuh tahun yang bukan hanya hafal bahkan sampai
memahami seluruh kandungan al-Qur’an. Karena kecerdasannya itulah
akhirnya sebuah universitas di Inggris memberikan gelar doktor untuknya
meskipun dia baru berusia tujuh tahun. Anak tersebut merupakan putra
dari sepasang suami istri dari Persia.
Dalam
majalah Ashena terbitan bulan juni 1998, ibundanya menuturkan apa yang
dia lakukann ketika mengandungnya dulu, ia mengutip sebuah hadits yang
artinya “orang yang menderita, menderita di perut ibunya; orang yang
bahagia, bahagia di perut ibunya”. Maksud dari hadis ini, penderitaan
manusia itu berawal dari perut ibundanya, begitupula kebahagiaan
manusia, berawal dari perut ibundanya.
Ketika
ibundanya mengandung janin dalam perutnya, haruslah sang ibu tersebut
mengajak jabang bayi berkomunikasi. Baik itu hanya dengan berucap
sendiri ataupun dengan memperdengarkan musik-musik sehingga menumbuhkan
perkembangan anak. Maka tak aneh, bila anak berumur tujuh tahun telah
menghafal al-Qur’an dengan baik, mengingat kedua orangtuanya yang ketika
bayi masih dalam kandungan senantiasa membacakan al-Qur’an.
Di
sinilah peran orangtua ditantang untuk mampu menciptakan karakter anak
dalam kapasitas agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.
The Golden Age
Ibarat
kertas, seorang anak ketika lahir ke dunia merupakan lembaran kertas
putih yang siap diisi dengan tinta kehidupan. Maka orangtualah yang
memiliki kewajiban menuliskannya dengan nilai-nilai yang baik, agar anak
memiliki pengetahuan yang bermanfaat, dan berbudi pekerti mulia.
Seperti sabda Nabi Muhammad Saw.: Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah secara baik.
Menurut para ahli psikologi, usia balita adalah The Golden Age
(masa emas) dalam tahap perkembangan hidup manusia. Dikatakan sebagai
masa emas karena pada mas ini tidak kurang 100 milyar sel otak siap
untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara
optimal di kemudian hari. Dalam
banyak penelitian menunjukkan kecerdasan anak usia 0-4 tahun terbangun
50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama adalah masa-masa paling
menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibanding masa-masa
sesudahnya. Artinya bila pada usia tersebut tidak mendapat rangsangan
yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan
teraktualisasikan secara optimal. Di samping itu, bukan tidak mungkin
bila pada masa ini anak tidak dapat mengalami perkembangan emosi, sosial
, mental, intelektual, dan moral sangat menentukan karakter cara
bersikap dan pola perilakunya.
Perilaku-perilaku
anak akan menjadikan penyempurna mata rantai interaksi anggota keluarga
dan pada saat yang sama interaksi ini akan membentuk kepribadiannya
secara bertahap dan memberikan arah serta menguatkan perilaku anak pada
kondisi-kondisi yang sama dalam kehidupan.
Anak
pada masa usia balita paling suka meniru. Apa yang dilihat, dirasa,
didengar, dan diresapinya akan ditiru. Sampai-sampai kebohongan
orangtuanyapun bisa ditiru gaya bahasanya. Inilah mengapa orangtua harus
memberi contoh yang baik.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Peribahasa tersebut memang sangat sesuai dengan perilaku anak dan
orangtuanya. Orangtua yang suka berbohong, maka anaknya tak jauh
berbeda, sedikit banyaknya pernah berbohong. Orangtua yang suka bertutur
dengan bahasa yang santun, maka anak pun pasti mengikutinya dengan gaya
bahasa yang sama. Itu baru dari segi bahasa, belum lagi perilaku. Anak
bahkan sampai meniru gaya orangtua makan, minum, gerak tubuh, dan gaya
dia berbicara.
Imam Musbikin mengutip pernyataan Dr. Sylvia Rimm, Direktur The Family Achivement Centre di Clevelend, Amerika, dalam bukunya Mengapa Ya Anakku Kok Suka Berbohong…?, “ada tiga hal yang mempengaruhi si kecil meniru segala sesuatu yang dilakukan orang dewasa. Pertama, ada banya persamaan antara si kecil dengan orang dewasa. Kedua, adanya kedekatan atau ikatan khusus antara anak dengan orang dewasa yang ditirunya. Ketiga, di mata anak, orang dewasa memiliki power
(kekuatan) tertentu.” Mungkin inilah yang menyebabkan anak balita
mengidolakan sosok ayah atau ibunya yang memegang otoritas dalam
kehidupannya.
Komunikasi Orangtua: Tahap Awal Pendidikan
Wiryanto
dalam Pengantar Ilmu Komunikasi menyatakan Komunikasi merupakan sebuah
proses, dalam arti tersampaikannya sebuah pesan, terpahaminya sebuah
arti atau terciptanya persepsi yang sama atau berbeda karena melalui
tahapan-tahapan tertentu. Maka komunikasi bukanlah hal yang bersifat
statis. Impllikasi dari hal ini menunjukkkan bahwa komunikasi memerlukan
tempat dinamis, menghasilkan perubahan dalam usaha mencapai hasil,
melibatkan interaksi bersama, serta melibatkan suatu kelompok atau
khalayak ramai.
Lebih
lanjut, Hendy Hermawan menegaskan bahwa sebuah komunikasi merupakan
struktur ilmu pengetahuan yang meliputi aspek aksiologi, epistemologi,
dan ontologi. Aksiologi mempertanyakan dimensi utilitas (faedah,
peranan, dan kegunaan). Epistemologi menjelaskan norma-norma yang
dipergunakan ilmu pengetahuan untuk membenarkan dirinya sendiri.
Sedangkan ontologi mengenai struktur material dari ilmu pengetahuan.
Dalam
masa bayi, sangat baik untuk melakukan komunikasi dengan memberikan
pelajaran-pelajaran. Mungkin anak bayi tersebut tidak mengerti tetapi
dapat meresapi apa yang orangtua ucapkan. Dan pada masa tatih nanti,
yakni saat usia bayi di atas 18 bulan sampai 3 tahun, anak tersbut akan
meniru apa yang ia dengar pada masa bayi lalu dan apa yang ia dengar
pada masa tatihnya dengan mengucap ulang apa yang didengar, walaupun
tidak sesuai dalam menirukannya. Dr. Reni Hawadi menjelaskan bahwa pada
masa tatih inilah, anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta
kemadirian.
Saya
teringat kala seorang ayah menggendong anaknya, beliau selalu
membacakan bacaan salat, salawat, nama-nama Nabi ataupun sifat-sifat
Allah dan RasulNya. Meskipun dengan pelafalan yang kurang jelas,
terlihat anak tersebut mencoba menirukan apa yang diucapkan oleh
ayahnya. Cara demikian dilakukan oleh ayah tersebut sejak lahir sampai
kira-kira umur 6 tahun. Tak aneh, bila anaknya telah bisa melakukan
salat seperti orang dewasa.
Tidak
hanya itu, ayah ataupun ibunya juga selalu membacakan doa ketika
anaknya mau makan, setelah makan, mau tidur, dan setelah tidur. Dengan
cara demikian, anak tersebut tak kala besarnya tak lagi perlu dituntun
untuk baca doa, karena ia telah mengetahui sendiri bahwa orangtuanya
selalu melakukan itu.
Berbanding
terbalik, jika orangtuanya selalu berkata kasar, jorok bahkan hina dan
nista. Anaknya pasti juga akan berkata menyerupai perkataan orangtuanya.
Dengan perkataan akan berdampak pada perilaku, baik sedikit maupun
banyak. Perkataan seseorang dapat mencerminkan perilakunya.
Di
mata anak, orangtua adalah figur idola yang kesehariannya merupakan
contoh yang selalu ditiru. Dengan memainkan peranan orangtua dengan
benar dan sebaik mungkin dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan
tumbuh dan berkembang secara optimal. Yang tak kalah penting, anak akan
tumbuh berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk dari luar serta
menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi penerus
bangsa di masa depan.
Catatan: Artikel ini yang mengantarkan Muhammad Syakir Ni'amillah meraih peringkat pertama di ajang perlombaan Karya Tulis Ilmiah di Universitas Muhammadiyyah Cirebon, 2012.
0 komentar:
Posting Komentar